A War, Dilema Tentara Denmark di Medan Perang Afghanistan

Ilustrasi A War, Dilema Tentara Denmark di Medan Perang Afghanistan
Ilustrasi A War, Dilema Tentara Denmark di Medan Perang Afghanistan

Dunia menunjukkan, ada perang yang baik dan yang buruk. Film ini, A War mengingatkan kita lagi akan hal itu.

Perang Dunia II (1939-1945) dianggap perang yang baik, saat kejahatan (yang diwakili Nazi Jerman dan kekaisaran Jepang) ingin menguasai dunia, pihak yang baik harus memeranginya. Kalah perang berarti pihak jahat yang menang.

Bacaan Lainnya
Ilustrasi A War, Dilema Tentara Denmark di Medan Perang Afghanistan
Poster A War

Perang Vietnam di tahun 1960-an hingga pertengahan 1970-an dianggap perang yang buruk. Tentara Amerika berperang hingga ke separuh Bumi, sebuah negara kecil di Asia Tenggara, yang tak signifikan bagi AS. Di Vietnam, tentara Amerika hanya menjadi korban dari politik di masa Perang Dingin.

Jika menagcu ke negara kita, perang di masa kemerdekaan tentu saja dikategorikan sebagai perang yang baik, karena alasannya demi membebaskan bangsa dari penjajah. Namun, operasi militer di Timor Timur, Papua atau Aceh rasanya patut dilabeli perang yang buruk lantaran banyak memakan korban jiwa rakyat yang tak berdosa.

Lalu bagaimana kita menilai keterlibatan tentara Denmark di medan perang Afghanistan sebagaimana digambarkan di film ini, A War yang judul Denmark-nya Krigen?

Afghanistan diserang tentara Amerika dan sekutunya pada 2001 pasca-serangan teroris 11 September 2001 atau peristiwa 9/11 (nine/eleven). Amerika percaya, Taliban yang menguasai Afghanistan waktu itu melindungi Osama bin Laden, pemimpin Al Qaeda yang dianggap otak serangan 9/11.

Nah, Denmark masuk di bagian “sekutu” Amerika. Denmark, sebagaimana Amerika dan banyak negara-negara Eropa barat, anggota NATO. Organisasi pertahanan negara-negara Atlantik utara ini punya prinsip, setiap serangan pada satu anggota, berarti serangan pada semuanya.

Namun bukan para jenderal, diplomat dan politisi berjas rapi yang paling merasakan dampak perang, melainkan prajurit di lapangan. Hal ini yang ditelisik A War.

Karya Tobias Lindholm ini utamanya menusuk di jantung kita pada dilema moral yang dialami tentara di medan perang.

Di awal film kita bertemu satu pleton tentara Denmark yang tengah berpatroli. Seorang serdadu menginjak ranjau. Kakinya putus. Kehilangan banyak darah nyawanya tak bisa diselamatkan.

Seorang kawan si serdadu yang tewas mengalami trauma. Ia minta dipulangkan. Sang komandan kompi, Claus Pedersen (Pilou Asbaek) tentu saja tak bisa mengabulkan permintaan anak buahnya itu.

Sang komandan lalu berinisiatif terjun ikut patroli ke desa. Di sebuah desa, pasukannya diminta seorang kepala keluarga menolong anaknya yang sakit. Tentara Denmark memberi pengobatan.

Esoknya sang kepala keluarga itu membawa serta istri dan dua anak-nya ke markas pasukan Denmark. Katanya, nyawanya dan keluarga terancam karena Taliban tahu ia ditolong tentara Barat. Ia minta perlindungan tinggal di barak.

Claus tak membolehkan. Tangsi militer bukan tempat pengungsian. Ia teguh pada aturan. Keluarga itu pun pulang.

Saat kembali berpatroli ke desa, Claus dan pasukannya lalu mendapati seluruh anggota keluarga itu dibantai. Di desa itu juga ia dan pasukannya diserang musuh. Seorang tentara terluka. Ia meminta bantuan helikopter untuk membawa anak buahnya. Namun, markas memintanya mengidentifikasi ada musuh di desa itu agar markas bisa mengebom lokaasi tersebut.

Claus mengkonfirmasi. Bom dijatuhkan. Nyatanya yang jadi korban malah rakyat biasa, termasuk anak-anak. Tak ayal ia didakwa, dituduh mekakukan kejahatan perang, membunuh rakyat Afghanistan yang tak berdosa.

Demikian inti cerita A War.

Menonton A War, sulit untuk mengabaikan The Hurt Locker (2009), film berlatar perang yang lain, di Irak. A War dibuat dengan tradisi yang sama dengan karya Kathryn Bigelow pemenang Oscar itu.

Yang paling kentara dari The Hurt Locker dan kini A War adalah pendekatan realis yang diambil dua film tersebut. Di menit-menit awal A War, misalnya, tak ada suara. Baru kemudian kita dengar para serdadu berkomunikasi dan kekacauan terjadi saat salah seorang menginjak ranjau.

Jika A War mengikuti keseharian patroli tentara Denmark, The Hurt Locker mengikuti hari-hari seorang penjinak bom di Irak.

BACA JUGA: Pertama di Indonesia, Jukiverse NFT Exhibition Hadir Secara Hybrid di Metaverse dan Mal Sarinah

Dua film itu menyajikan drama tanpa berlebihan. Yang ingin dikejar sineas sebuah realisme. Yang ingin ditunjukkan adalah kenyataan keseharian para serdadu di lapangan.

Atau, dalam A War, diselingi kehidupan istri di tanah air mengurus tiga anak yang masih kecil sementara suami bertempur di negeri asing.

Bila diandaikan, A War terbagi dalam dua film. Yang pertama berlangsung di medan perang Afghanistan, sedang yang kedua di ruang sidang.

Kita melihat Claus harus mendapati dirinya duduk sebagai terdakwa. Ia menghadapi dilema moral berikutnya: apakah konfirmasinya atas serangan bom ke desa di Afghanistan itu perbuatan yang benar? Apa ia betul-betul melihat posisi musuh? Atau itu hanya upayanya menyelamatkan anak buahnya yang terluka? Merasa bersalahkah ia ternyata yang tewas anak-anak seumuran anaknya?

A War berakhir dengan campuran gaya Hollywood dan film indie Eropa. Sebagai film bergaya Hollywood, film ini tak ingin protagonis kesayangan bernasib tragis. Lindhom, sebagai sutradara, tampaknya tak ingin penonton pulang dari bioskop dengan perasaan tak enak hati. Namun, selayaknya film indie yang kerap berakhir nihilistik, kita masih bisa merasakan kehampaan pada diri Claus.

Sampai di sini, perang–entah yang baik ataupun yang buruk–tetaplah memakan korban: mereka ynag tak berdosa maupun serdadu bersenjata. Dengan pesan seperti itu, A War memang layak masuk nominasi Oscar film berbahasa asing terbaik tahun ini.

Baca berita Gaya Hidup lainnya di tautan ini dan berita terkini dari PELITA.CO.ID di Google News dengan klik tautan ini.

TERPOPULER:

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan