Bambang Soesatyo Apresiasi Buku ‘Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia’ Karya Yoseph Umarhadi

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyambut hangat hadirnya buku karya Yoseph Umarhadi mengenai 'Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia'. Foto: Dokpri
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyambut hangat hadirnya buku karya Yoseph Umarhadi mengenai 'Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia'. Foto: Dokpri

Jakarta, pelita.co.idKetua MPR RI Bambang Soesatyo menyambut hangat hadirnya buku karya Yoseph Umarhadi mengenai ‘Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia’. Buku yang berasal dari disertasi tersebut menyajikan dua teori, tentang Filsafat Pancasila dan tentang Demokrasi Pancasila.

“Sebagai anggota DPR/MPR RI empat periode, dimulai sejak 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019, kompetensi Yoseph Umarhadi dalam urusan kebangsaan tidak perlu diragukan. Disertasinya yang dijadikan buku tersebut, sukses dipertahankan dalam ujian terbuka untuk memperoleh gelar doktor bidang ilmu Filsafat di Ruang Sidang Persatuan Lantai 3, Gedung Notonagoro Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, akhir Agustus 2021 lalu,” ujar Bambang Soesatyo usai menerima Yoseph Umarhadi, di Ruang Kerja Ketua MPR RI, di Jakarta, Senin (4/10/2021).

Bacaan Lainnya
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (kanan) bersama Yoseph Umarhadi (kiri), penulis buku'Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia'. Foto: Dokpri
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (kanan) bersama Yoseph Umarhadi (kiri), penulis buku’Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia’. Foto: Dokpri

Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, untuk memperkokoh Pancasila sebagai sebuah sistem filsafat, Yoseph turut menghadirkan dua pandangan tentang Pancasila dari dua filsuf besar Indonesia. Yakni Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Profesor Notonagoro, serta Guru Besar Filsafat yang namanya diabadikan menjadi Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Profesor Driyarkara.

“Menurut Yoseph, Notonagoro memiliki pandangan Pancasila semestinya menjadi landasan moralitas warga negara (subyektivasi yang subyektif) dan negara (subyektivasi yang obyektif). Susunan dan bentuk sila-sila dalam Pancasila ini bersifat hirarkis piramidal, semakin kecil pengertianya semakin luas cakupannya. Pemahaman dasar aksiologis Pancasila, sila pertama dan kedua menjadi landasan moralitas, sila ketiga sebagai prinsip, sila keempat sebagai cara dan sila kelima adalah orientasi atau tujuannya,” jelas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, sementara dasar aksiologi Pancasila Drijarkara adalah manusia Pancasila. Artinya, sikap dan perilaku manusia Indonesia adalah sikap-sikap yang dituntut oleh sila-sila pancasila. Demikian pula negara Indonesia adalah negara Pancasila. 

“Kedua pandangan tersebut, Notonagoro dan Driyarkara, saling melengkapi satu sama lain dan semakin menguatkan teori bahwa selayaknya Pancasila disebut sebagai ilmu pengetahuan dan memiliki kebenaran yang diperoleh dengan mengkaji hakikat manusia Indonesia yang memiliki nilai-nilai hakiki yang absolut, tidak berubah dan universal. Pengetahuan ini diperoleh melalui pengalaman (empiris)  dan diolah oleh akal (rasio), intuisi dan wahyu serta memiliki kemanfaatan bagi kesejahteraan manusia (filsafat manusia),” pungkas Bamsoet.

Dasar Negara dan Ideologi

Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyambut hangat hadirnya buku karya Yoseph Umarhadi mengenai 'Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia'. Foto: Dokpri
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyambut hangat hadirnya buku karya Yoseph Umarhadi mengenai ‘Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia’. Foto: Dokpri

Di buku ‘Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia’, Yoseph Umarhadi yang juga mantan anggora Dewan Perwakilan Rakyat empat periode sejak 1999 ini menyajikan dua teori. Menurut Yoseph, mengacu pada pendapat Profesor Driyarkara, Pancasila tidak dirumuskan dari ketiadaan (ex nihilo), melainkan dalam sejarah masyarakat sebagai bagian dari sejarah dan perkembangan masyarakat. Soekarno sendiri, kata Yoseph, tidak merumuskan Pancasila, melainkan menemukannya dengan menggali sejarah dan kehidupan masa lampau Bangsa Indonesia hingga jauh sebelum masa pra hindu (ribuan tahun lalu).

Nilai-nilai, seperti Percaya Kepada Dzat Yang Maha Esa Sebagai Sangkan Paraning Dumadi (Causa Prima), Kesadaran Sebagai Ciptaan Allah yang bermartabat karena itu perlu saling menghormati dengan semangat tepo seliro, gotong-royonng, sopan santun, kesadaran akan keragaman dan keinginan untuk besatu dalam keragaman (Bhineka Tunggal Ika Dan Sumpah Pemuda), kesadaran untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat demi kesejahteraan kersama dijadikan pedoman dan keyakinan yang diakui kebenarannya bagi bangsa dalam menghadapi persoalan kehidupan baik dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia, diri sendiri dan lingkungan demi mencapai kesejahteraan lahir dan batin sudah menjadi pengikat pergaulan antaranggota masyarakat zaman lampau.

Nilai-nilai ini secara diam-diam, kata Yoseph, menjadi pola dan norma kehidupan yang ditaati sehingga masing-masing anggota masyarakat berusaha untuk menghormatinya, menjunjung tinggi, serta berusaha mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari. “Jadi, dimunculkannya Pancasila sebagai dasar filsafat bukanlah sebuah kebetulan yang diciptakan secara rasional. Ini sudah mengakar di hati Bangsa Indonesia sejak dulu. Nilai-nilai ini diabstraksikan dari pengalaman multi etnis multi kultural yang hidup zaman dahulu sebagai pedoman untuk menghadapai persoalan hidup,”terang Yoseph.

Nilai-nilai dasar itu kemudian disarikan atau dipadatkan menjadi dasar bagi terbentuknya negara Republik Indinesia dan tertuang dalam TAP XX/MPRS/1966. Proses perumusan Pancasila, kata Yoseph, yang mulai dibahas dalam sidang BPUPKI pertama (29 Mei-1 Juni 1945) dan sidang panitia sembilan yang menghasilkan PIAGAM JAKARTA (22 juni), sidang PPKI (18 agustus) yang menjadikannya sebagai dasar filsafat negara. Para waktu itu, tujuan dirumuskan Pancasila adalah agar bisa dijadikan dasar negara. Ini adalah dasar fundamental karena tidak bisa diubah oleh siapapun. Artinya, nilai-nilai tersebut bersifat absolut.

“Pancasila menjadi dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara dan warga negara. Rumusan sila-sila itu dalam hukum positif Indonesia secara yuridis konstitusional sah berlaku, dan mengikat untuk seluruh lembaga negara, lembaga masyarakat, dan setiap warga negara tanpa kecuali. (Buku Empat Pilar MPR RI).”ujar Yoseph

Dan sebagai sebuah ideologi, kata Yoseph, Pancasila merupakan sistem kehidupan nasional yang meliputi aspek etika/moral, politik, ekonomi, sosial-budaya dan pertahanan keamanan demi mencapai cita-cita dan tujuan bangsa yang berlandaskan dasar negara. Keseluruhan sistem ide yang secara normatif memberikan persepsi, landasan serta pedoman tingkat laku bagi seseorang atau masyarakat dalam seluruh kehidupannya dan dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Berdasar Demokrasi Pancasila

Dengan demikian, bila diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, menurut Yoseph, Pancasila yang terinternalisasi dengan tepat dan benar dalam diri masing-masing warga Bangsa dan Negara Indonesia menjadi dasar kuat yang mampu menyatukan seluruh perbedaan yang dimiliki Indonesia. Juga mampu menyelesaikan berbagai persoalan.

“Entah itu persoalan pandemi, radikalisme, dan persoalan-persoalan lain,”ujar politikus yang mengawali kariernya sebagai guru di Sekolah Tinggi Agama di Tual, Maluku.

Berbagai persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang terjadi selama beberapa dekade ini menggelisahkan Yoseph Umarhadi sebagai seorang warga negara yang sekaligus anggota partai politik dan DPR dengan latar belakang pendidikan Filsafat dan Teologi. “

Terutama dengan perkembangan demokrasi di Indonesia yang seharusnya kita jalankan berdasar Demokrasi Pancasila. Sayang, justru yang selama ini berjalan adalah demokrasi yang disandera oleh oligarki,” ujar mantan wartawan Harian Kompas ini.

Sekelompok elite yang memiliki sumber daya ekonomi yang kemudian menguasai demokrasi sedemikian besar rakyat Indonesia ini, menurut Yoseph mengancam eksistensi demokrasi yang bersandar pada Pancasila. “Oligarki itu anak cucu paham Liberalisme, Individualisme dan tidak berbeda dengan Kapitalisme. Aliran-aliran inilah adalah anak cucu dari aliran Rasionalisme.

Di sisi lain, ketika Sosialisme sebagai aliran yang kontra Liberalisme muncul, kata Yoseph, muncullah Komunisme dan Materialisme. “Itulah kenapa, pendiri bangsa ini tidak menjadikan Liberalisme atau Sosialisme sebagai dasar membentuk negara ini. Mereka tidak memilih Liberalisme maupun Sosialisme, melainkan mengangkat Pancasila sebagai dasar filsafatnya (philosophische grondslag),”ujar Yoseph.

Maka, ketika Pancasila selama beberapa dekade ini seolah ditinggalkan atau tidak pernah disentuh, baik dalam ruang sekolah maupun ranah organisasi masyarakat, dan bidang lain, Yoseph merasa termotivasi untuk mengembalikannya kembali pada arah yang sesuai tujuan awal. “Apalagi politik identitas dan pragmatisme beberapa tahun belakangan ini menjadi semakin menguat selain warna demokrasi oligarki (kapitalisme) yang mengental,”tegas Yoseph.

Menurut Yoseph, demokrasi yang kita jalankan semestinya merupakan Demokrasi Pancasila yang berlandaskan pada Filsafat Pancasila. Demokrasi Pancasila, berdasar pada sila keempat Pancasila (Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan).

Sila keempat ini menyatakan, sebagaimana dikemukakan Soekarno, kata Yoseph, bahwa segala sesuatu tentang hidup bersama harus didasarkan pada kekeluargaan, demokrasi, kedaulatan rakyat sehingga dalam alam pikiran kita, kejiwaan kita, demokrasi bukan sekadar alat teknis melainkan sebuah keyakinan.

“Demokrasi Pancasila bukanlah demokrasi yang dianut bangsa-bangsa lain melainkan demokrasi yang didasarkan pada kepribadian bangsa yang mengedepankan musyawarah mufakat,” ujar Yoseph.

Selanjutnya, demokrasi ini dijiwai oleh moralitas sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab). Berprinsip pada sila ketiga (Persatuan Indonesia) serta bermuara atau bertujuan pada sila kelima, yakni Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

“Itulah Demokrasi Pancasila yang benar,”ujar Yoseph menegaskan.

Selama ini, kata Yoseph, demokrasi tersandera oleh berbagai kepentingan pribadi yang cenderung menjadikan sesama manusia yang lain sebagai obyek. Padahal, kata Yoseph, pemahaman eksistensialismenya tentang kodrat manusia sebagai subyek (persona) yang hidup bersama subyek lain dalam cinta kasih (liebendes mitsein) yang diungkap Driyarkara jelas.

Manusia pancasila dalam menjalankan demokrasi harus menunjukkan sikap dan perilaku yang dituntut oleh sila-sila pancasila. Perwujudan konkret hubungan antar subyek yang dilandasi cinta kasih itu yang paling mendasar adalah keadilan pada seluruh bidang kehidupan. Cinta kasih tanpa keadilan bukanlah cinta kasih. Keadilan adalah cermin hubungan subyek dengan subyek, bukan subyek dengan obyek.

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan