Lombok, pelita.co.id – Budidaya lobster menjadi pilihan ditengah sorotan seiring pasca dikeluarkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah NKRI. Dengan keluarnya Permen KP tersebut maka pemerintah mendorong ketersediaan benih bening lobster (BBL) di alam untuk difokuskan pada budidaya.
Salah satu daerah di Indonesia yang memiliki potensi besar untuk tempat budidaya lobster ialah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Provinsi yang memiliki dua pulau besar yakni Lombok dan Sumbawa itu sudah sejak lama menjadi tempat budidaya lobster.

Di Pulau Lombok, khususnya di Kabupaten Lombok Timur terdapat banyak sentra budidaya lobster yang dikelola berdasarkan kearifan lokal setempat dengan hasil yang melimpah. Hal itu membawa angin segar bahwa Indonesia kelak bisa menjadi lumbung lobster dunia yang mengalahkan Vietnam.
Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Lombok Timur, Muhammad Ory Dedy Sofyan menjelaskan detail mengenai kondisi budidaya lobster di wilayahnya tersebut.
Menurut Dedy biasa disapa, ada beberapa desa di Lombok Timur yang menjadi sentra budidaya lobster jenis pasir dan mutiara.
BACA JUGA: Pelarangan Ekspor Benih Bening Lobster, Anggota DPR Apresiasi Kementerian Kelautan dan Perikanan
“Secara siklus mereka panen dua kali dalam setahun. Biasanya bulan Februari dan Agustus. Secara umum mereka pakai keramba jaring apung dan nelayan kita punya inovasi sendiri,” ujar Dedy.
Ia menyebut nelayan dan pembudidaya di sana belum mengenal teknologi dalam proses pembesarannya. Mereka masih menggunakan peralatan tradisional yang sudah dilakukan secara turun temurun.
Termasuk dalam segi pakannya, selain mengandalkan ikan rucah, pembudidaya lobster di Lombok Timur juga mengolahnya dari hewan-hewan seperti bekicot dan keong yang notabene menjadi hama di sektor pertanian.
“Dengan pakan dan alat seadanya, keseluruhan pembudidaya bisa hasilkan rata-rata 70-80 ton per tahun, fluktuatif,” ungkapnya.
“Hebatnya lagi nelayan kita mampu meracik pakan untuk lobster seukuran jempol (BBL) dengan menggunakan tahu dan putih telur. Hasilnya sangat baik untuk pertumbuhan lobster dari ukuran benih,” ungkapnya lagi.
Dedy menegaskan bahwa teknik budidaya tidak harus mencontoh dari negara lain, misalnya Vietnam. Pasalnya dengan kearifan lokal yang tersedia, pembudidaya mampu melakukan produksi dengan baik.
“Tinggal yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah-red) pemerintah ialah meningkatkan sarana dan prasarananya. Tantangan yang saat ini dihadapi oleh pembudidaya ialah pakan dan manajemen agar tertata lebih baik lagi,” beber dia.
Untuk pemasaran hasil budidaya, Dedy menyatakan pada saat ini, banyak dikirim ke Jakarta dan Bali.
“Mereka menjual ke pengepul dan kemudian pengepul yang mendistribusikan ke daerah lain. Untuk ekspor memang sudah pernah dicoba tapi agak rumit prosesnya. Dengan menjual ke pengepul saja nelayan sudah mendapatkan untuk banyak,” tandasnya.
Mendukung Larangan Ekspor Benih Lobster

Sari, D. A. A dalam jurnal berjudul Integrasi Tata Kelola Kebijakan Pembangunan Kelautan Berkelanjutan yang diterbitkan Rechts Vinding tahun 2019 menyebutkan bahwa hal penting yang tidak dapat diabaikan dalam pembangunan kelautan adalah kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan sehingga pembangunan tidak hanya bertujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mempedulikan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Maka dari itu, pertumbuhan ekonomi di bidang kelautan perlu diwujudkan melalui pembangunan berkelanjutan yang efisien, bernilai tambah, inklusif dan inovatif sebagai penunjang aktivitas ekonomi.
Apa yang telah dilakukan oleh pembudidaya lobster di Lombok Timur sudah memenuh pembangunan ekonomi kelautan yang berkelanjutan dengan memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Pembudidaya lobster di Lombok Timur sangat senang sekali dengan keluarnya larangan ekspor benih lobster melalui Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah NKRI.
“Kita sangat mendukung sekali dengan adanya larangan ekspor benih lobster, karena lebih baik benih itu dibudidaya,” kata Dedy.
Sedangkan peraturan di era Menteri Kelautan dan Perikanan sebelumnya yang membolehkan ekspor BBL, pihaknya sering terlibat konflik dengan nelayan yang kerap menjual BBL untuk diekspor. Alasannya, pembudidaya sulit mendapatkan stok benih di alam.
“Untuk kaca mata kami di Lombok Timur saat itu, kami sangat khawatir terjadinya over fishing sehingga nelayan sangat sulit untuk mencari benih (untuk budidaya),” jelas dia.
“Di sini nelayan lebih senang memelihara lobster dari ukuran benih ketimbang ukuran yang sudah agak besar atau biasa disebutnya di sini ukuran 5 jari, karena ketahanan dari benih bening lebih kuat ketimbang ukuran yang lebih besar sedikit, karena butuh adaptasi lagi,” pungkasnya.
Ikuti berita terkini dari PELITA.CO.ID di Google News dengan klik tautan ini.