Idealisasi Fungsi Kontrol Pers

Ilustrasi. Foto: pelita.co.id/istimewa
Ilustrasi. Foto: pelita.co.id/istimewa

Oleh: Husen Mony
Mengajar Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid Jakarta

Nia Ramadhani dan suaminya, Ardie Bakri ditangkap kepolisian terkait aktivitas penyalahgunaan narkoba. Kabar tersebut seketika menjadi heboh dimanamana, terutama di media konvensional dan media sosial. Dalam percakapan di berbagai platform media sosial, muncul pertanyaan menarik dari para netizen berkaitan dengan absennya TV One dalam pemberitaan peristiwa tersebut.

Adanya pertanyaan tersebut sangat wajar, karena tiga alasan. Pertama, Ardie Bakrie adalah “pemilik” TV One. Oleh karena itu, publik tentu mengharapkan sikap profesional dari TV One terkait dengan peristiwa yang menghebohkan tersebut. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa pers tidak boleh memihak apalagi membela “ketidakbenaran”, bahkan jika pelakunya adalah pemilik media itu sendiri. Jika media-media yang lain memberitakan peristiwa itu, lalu mngapa TV One tidak?

Kedua, dari segi nilai berita (news value) peristiwa tersebut memenuhi hampir semua aspek. Katakanlah, dari segi magnitude, penting (significance), kebaruan (timliness), kedekatan (proximity), ketokohan (prominance) terpenuhi, sehingga sangat layak diberitakan TV One.

Ketiga, fakta bahwa TV One selalu terdepan memberitakan peristiwa penting, termasuk peristiwa tentang artis yang menggunakan narkoba. Terbaru, peristiwa penyalahgunaan narkoba yang melibatkan Anji (mantan vokalis Band Drive) tak luput dari pemberitaan TV One.

Dari perspektif teoritis serta hukum pers di Indonesia (UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers), hadirnya media dalam pemberitaan yang berkaitan dengan berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh/atau ditengah masyarakat, apalagi yang dilakukan oleh para pesohor (publik figur), merupakan sebuah kewajiban. Fungsi kontrol sosial pers terutama didorong dalam rangka mengupayakan keberaturan di masyarakat, bangsa dan negara, yang mana salah satunya melalui pemberitaan semacam itu.

TV One sebagai salah satu institusi pers terbesar di negeri ini juga berkewajiban menjalankan fungsi kontrol sosial dalam rangka mengupayakan tercipatanya tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara ke arah yang lebih baik. Terlebih lagi, TV One merupakan lembaga penyiaran publik yang dalam kegiatannya menggunakan frekuensi milik publik. Pada titik ini, harapan publik yang “diwakilkan” oleh sejumlah netizen di media sosial, dapat dibenarkan. Pertanyaannya, apakah harus seketat itu fungsi kontrol sosial media perlu dilakukan?

Dalam artian, jika TV One tidak memberitakan peristiwa penyalahgunaan narkoba yang dilakukan Ardie Bakri dan Ramadhani, maka kita patut melabelinya sebagai media yang buruk; TV One tidak profesional!

Memang, hampir semua literatur bacaan tentang pers atau praktik jurnalistik, memahami fungsi pers, seperti demikian adanya. Bahwa TV One sebagai lembaga pers harus ikut memberitakan perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh Ardie Bakrie dan Nia Ramadhani, sekalipun keduanya adalah anak dan mantu dari pemilik stasiun televisi tersebut.

Salah satu pemikiran yang sering dijadikan rujukan, baik oleh akademis maupun praktisi jurnalistik sendiri, dalam beberapa puluh tahun belakangan ini adalah, sebagaimana disampaikan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstial. Dalam sebuah karya monumental berjudul The Element of Jurnalism (yang kemudian digenapkan menjadi 10 elemen/kewajiban jurnalis lewat buku kedua berjudul “Blur”) mereka menyebut bahwa wartawan wajib mandiri terhadap apa yang diliput serta mandiri dalam memantau kekuasaan.

Fungsi Kontrol Alternatif

Ilustrasi. Foto: pelita.co.id/istimewa
Ilustrasi. Foto: pelita.co.id/istimewa

Tanpa bermasud menjadi pihak yang kontra terhadap pandangan-pandangan tersebut di atas – terlebih lagi pandangan-pandangan itu sudah menjadi hukum dan keyakinan yang diterima publik secara universal – melalui tulisan ini, penulis bermaksud mengusulkan pandangan alternatif, yang saya sebut fungsi kontrol sosial silang (cross – social control function).

Penjelasan sederhana tentang fungsi kontrol sosial silang adalah bahwa kewajiban mengontrol perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seorang pemilik media atau keluarganya, dilakukan oleh media lain dan bukan oleh media miliknya sendiri. Artinya, TV One harus “dibebaskan” dari kewajiban memberitakan peristiwa yang terkait Ardie Bakrie- Nia Ramadhani tersebut. Tetapi peristiwa itu harus menjadi fokus pemberitaan media-media lain, di luar jaringan Viva Group.

Maksud dari “dibebaskan” di sini adalah bahwa keputusan untuk memberitakan atau tidak memberitakan peristiwa yang berkaitan dengan pemilik media harus menjadi kehendak bebas redaksi sendiri, tanpa perlu ditekan oleh publik, sebagaimana yang terjadi saat ini, melalui suara-suara riauh netizen di media sosial.

Hal yang sama tentunya juga diberlakukan kepada Hary Tanoesoedibjo, Chairul Tanjung, Eric Tohir (atau anggota keluarganya yang lain) jika suatu saat melakukan tindakan penyimpangan.

Ada sejumlah argumentasi yang melandasi pandangan penulis tersebut. Pertama, media (terutama di Indonesia) bukan hanya entitas penyampai informasi semata, yang artinya wartawan atau redaksi sebagai pekerja sosial: mencari, mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan informasi. Dalam regulasi pers kita (UU No. 40 Tahun 1999) media juga harus dilihat sebagai entitas bisnis atau perusahaan.

Artinya, semua yang bekerja di dalamnya adalah karyawan, termasuk dalam hal ini para wartawan dan awak redaksi lainnya. Dalam konteks demikian, pemilik perusahaan mana yang akan tinggal diam jika karyawan yang hidup dari gaji pemberiannya, justeru “menyerangnya”. Wartawan yang dipaksa memberitakan tentang pemilik media tempat mereka bekerja, akan mengalami resistensi yang demikian.

Kedua, mendorong agar redaksi media memberitakan kelakuan pemiliknya yang menyimpang, seperti halnya kasus TV One sekarang, sama halnya dengan sedang memprovokasi wartawan (dibaca karyawan) untuk mengambil jalan “siap dipecat”. Bukankah itu langkah yang kurang bijak, terlebih lagi ditengah situasi kesulitan ekonomi seperti saat ini. Bagaimana dengan nasip kehidupan keluarganya pasca dipecat?

Ketiga, jika pun ada wartawan yang memilih jalan idealis seperti demikian – siap dipecat. Otomatis dia harus terpaksa hengkang kaki dari media tersebut (entah karena dipecat atau mungkin karena dorongan idealismenya). Wartawan tersebut nantinya hanya akan punya dua pilihan: menjadi wartawan di media lain atau berhenti menjadi wartawan. Apapun pilihannya, tetap tidak baik bagi masa depan pers. Jika pilihannya adalah menjadi wartawan di media lain. Tentunya, jika ada kasus yang sama wartawan tersebut akan berhenti lagi.

Ini akan menjadi lingkaran setan yang tak berkesudahan nantinya. Jika pilihan kedua yang diambil, pertanyaannya kemudian siapa yang akan melaksanakan kegiatan jurnalistik ke depan? Terlebih jika banyak wartawan mengambil jalan tersebut.

Keempat, secara jangka panjang, pilihan sikap sebagaimana yang ditunjukan sebagian netizen terhadap TV One, akan sangat beresiko bagi keberlanjutan pers, dilihat dari kacamata pemilik media. Penjelasan sederhanya begini: jika semua wartawan dan awak redaksi mengambil pilihan sebagaimana yang dikehendaki netizen, dan kemudian direspon oleh para pemilik media berupa pemecatan atau yang lebih ekstrem menutup perusahaan pers-nya.

Dapat dipastikan masa depan pers (dengan segala fungsi yang melekat di dalamnya) akan menjadi buruk karena tidak ada lagi perusahaan pers yang beroperasi. Tentu saja, pilihan menutup perusahaan pers dapat saja menjadi masuk akal ditengah kelesuan perolehan iklan media yang terjadi beberapa tahun belakangan.

Dengan mendorong pendekatan fungsi kontrol silang, wartawan dan pers secara institusi akan terhindar dari berbagai macam keadaan, sebagaimana yang digambarkan penulis di atas. Para wartawan juga dapat kita lepaskan dari belenggu “atas nama profesionalitas” yang selama ini mengikat mereka dalam situasi “simalakama”.

Pada akhirnya, media bukanlaah entitas bebas nilai, pun juga tidak hidup di ruang hampa. Dan inilah realitas faktual yang harus dipahami publik.
Semoga!

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan