Jakarta, pelita.co.id – Seorang penerjemah tidak hanya membawa maksud dari naskah yang diterjemahkannya, namun harus membawa ‘jiwa’ dan emosi dari penulisnya.
“Seorang penerjemah yang baik, harus menjadi penulis yang baik,” kata John H. McGiynn dari Yayasan Lontar pada diskusi ‘How Do Translators Work to Bring Literature Beyond Their Country’ di Teater Wahyu Sihombing Taman Ismail Mazuki, Cikini, Jakarta Pusat pada Sabtu, (10/8/2024).
Ia bercerita, tentang proses penerjemahan karya-karya Sapardi Djoko Darmono pada tahun 1980-an. Saat membaca ulang karya terjemahannya sekarang, John H. McGiynn merasa terkejut dengan pekerjaanya puluhan tahun lalu.
John H. McGiynn menyampaikan penerjemah adalah pekerjaan sendirian dalam sepi. Ia pun menyebut, rasa cinta adalah modal utama dari penerjemah.
BACA JUGA: Negara Dinilai Kurang Peduli Kepada Karya Besar Penulis Sastra
Tanpa cinta sepenuhnya dengan apa yang dikerjakan, tak mungkin seorang penerjemah mampu bekerja dalam profesi ini dalam jangka panjang.
McGiynn mengisahkan perjalanan profesi dan hidupnya saat kali pertama tiba di Indonesia tahun 1976 silam.
“Saat itu, saya jatuh cinta dengan wayang. Lalu saya kesini dan belajar dan mulai mengerjakan banyak hal dengan naskah-naskah dari penulis Indonesia,” lanjutnya.
Ketekunan John H. McGiyn dengan karya sastra penulis Indonesia diakui secara luas. Melalui Yayasan Lontar, John H. McGlynn terlibat dalam penerjemahan lebih dari 250 karya sastra Indonesia.