Kecelakaan Pekerja Film, SINDIKASI: Perbaikan Kondisi Kerja Industri Film Semakin Mendesak

Ilustrasi pekerja film. Foto: unsplash/Miguel Ángel Hernández

Jakarta, pelita.co.id – Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) menyampaikan duka cita yang mendalam atas meninggalnya pekerja film Rifqi Novara dalam sebuah kecelakaan lalu lintas pada Rabu, (28/8/2024).

Sebagai wujud solidaritas kelas pekerja, SINDIKASI telah menemui langsung pihak keluarga Rifqi Novara di Kota Bandung untuk menyampaikan bela sungkawa sekaligus menawarkan bantuan pendampingan apabila dibutuhkan.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan keterangan dari pihak keluarga, Rifqi Novara yang bekerja sebagai Asisten Sutradara Dua untuk sebuah rumah produksi mengalami kecelakaan tunggal di daerah Mampang, Jakarta Selatan, Rabu (28/8/2024) tengah malam.

Ia diketahui dalam perjalanan pulang setelah menjalani proses praproduksi bersama salah satu perusahaan rumah produksi tempatnya bekerja. Pihak keluarga dan kerabat menduga kecelakaan yang dialami Rifqi akibat dari kelelahan kerja.

“Peristiwa kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan meninggalnya Rifqi Novara menjadi pengingat mendesaknya upaya perbaikan kondisi kerja dalam ekosistem industri film Indonesia. Salah satu isu yang perlu segera diselesaikan bersama adalah masalah waktu kerja berkepanjangan (overwork) yang dialami pekerja film Indonesia,” kata Ketua Umum SINDIKASI, Ikhsan Raharjo di Jakarta pada Jumat, (20/8/2024).

Kecelakaan kerja pada industri film sebenarnya telah berulang kali terjadi namun minim pendokumentasian serta jarang mendapat perhatian sebagaimana terungkap dalam kertas posisi #Sepakatdi14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia yang dirilis SINDIKASI bersama Indonesia Cinematographers Society (ICS) pada 2022.

Kertas Posisi #Sepakatdi14 menyimpulkan pekerja film Indonesia berada dalam kondisi berbahaya karena rata-rata mereka menghabiskan 16-20 jam dalam satu hari syuting. Hal ini meningkatkan risiko pekerja film Indonesia terkena serangan jantung iskemik atau stroke karena mereka bekerja di atas 55 jam setiap pekannya, sebagaimana peringatan International Labour Organization (ILO) dan World Health Organization (WHO) melalui penelitiannya.

“Normalisasi terhadap praktik overwork dan minimnya perlindungan hak pekerja menjadi tantangan besar dalam mewujudkan perbaikan kondisi kerja pada industri film. Terlebih, pemerintah masih pasif dalam melihat masalah ini,” ungkap Ikhsan yang juga penulis kertas posisi #Sepakatdi14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film itu.

Melihat situasi di atas, Ikhsan menyerukan kepada seluruh pekerja film Indonesia agar berserikat bersama SINDIKASI untuk membangun kekuatan kolektif dalam memperbaiki kondisi kerja. Saat ini SINDIKASI tengah merancang berdirinya Komite Pekerja Film sebagai wadah bagi pekerja film yang ingin berserikat untuk memperbaiki ekosistem dan kondisi kerja industri perfilman.

“Pengalaman tujuh tahun SINDIKASI mengadvokasi dan mendampingi pekerja industri kreatif termasuk perfilman dalam hubungan industrial menjadi modal penting bagi strategi perbaikan kondisi kerja pada industri perfilman ke depan. Kami juga akan membangun jejaring dengan serikat pekerja film di Korea Selatan, Belanda, dan Australia untuk mendukung langkah ini,” kata Ikhsan.

Dia menilai masalah yang dihadapi pekerja film Indonesia merupakan masalah sistemik yang tidak bisa diselesaikan satu-dua organisasi saja apalagi individu. Oleh karena itu, SINDIKASI juga membuka peluang diskusi bagi organisasi profesi perfilman dan pemangku kepentingan lain untuk bersama membahas masalah ini.

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan