Jakarta, pelita.co.id – Migration Governance for Sustainable Development, sebuah program kolaborasi antara Kementerian Luar Negeri Indonesia, United Nations Development Program (UNDP), International Organization for Migration (IOM) dan UN Women yang didukung oleh Migration Multi-Partner Trust Fund (MMPTF), menyelenggarakan Simposium Nasional untuk menandai puncak kemajuan program setelah berjalan selama dua tahun.
Inisiatif ini berfokus pada peningkatan kapasitas pejabat pemerintah di tingkat pusat dan daerah untuk menyusun kebijakan dan program yang responsif gender, berbasis hak, dan mengakui potensi migran sebagai aktor pembangunan sejalan dengan Kesepakatan Global tentang Migrasi atau Global Compact for Migration (GCM).
“Migrasi merupakan pilihan, yang didorong oleh kebutuhan individu untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan. Bagi mereka yang memilih untuk bermigrasi, keterampilan dan pengetahuan yang memadai adalah keharusan. Pemerintah senantiasa upayakan penguatan koordinasi lintas-sektoral dalam penguatan tata kelola migrasi, termasuk melalui pelatihan dan sosialisasi, agar WNI bermigrasi melalui prosedur yang terkelola dengan baik,” kata Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri, Penny Dewi Herasati, dalam keterangannya pada Selasa, (23/7/2024).
“GCM mendorong setiap negara untuk memperkuat peraturan dan prosedur migrasi, termasuk memperkuat pelindungan hak para migran serta mencegah kekerasan dan perdagangan orang. Kerja sama penguatan tata kelola migrasi antara Pemri dengan badan PBB di Indonesia adalah salah satu praktik baik upaya PBB mendukung peningkatan kapasitas Indonesia. Hal ini sangat penting mengingat jumlah WNI di luar negeri dan trend peningkatan migrasi di Indonesia,” lanjutnya.
BACA JUGA: Kontingen Garuda TNI Hadiri Peringatan Hari PBB Ke-75 di Lebanon
Pada kesempatan yang sama, Kepala Perwakilan PBB di Indonesia, Gita Sabharwal, mengatakan seiring dengan langkah kita ke depan, sangat penting bagi kita untuk terus mengembangkan pencapaian-pencapaian ini, dan memastikan bahwa kebijakan dan praktik migrasi terus berevolusi untuk menjawab tantangan-tantangan baru.
“Simposium Nasional ini merupakan kesempatan yang baik bagi kita untuk memperkuat posisi Indonesia sebagai negara terdepan dalam mendukung tata kelola migrasi dengan GCM,” ujarnya.
Proyek ini telah mencapai tiga hasil penting:
1) Memperkuat tata kelola migrasi yang responsif gender. Proyek ini telah mengembangkan sepuluh rangkaian studi termasuk pengembangan indikator tata kelola migrasi , sesi pelatihan khusus, dan fasilitasi dialog tentang migrasi responsif gender di tingkat nasional dan daerah. Program ini juga mendukung kemajuan upaya perlindungan dan penguatan sistem peradilan pidana terpadu bagi perempuan pekerja migran korban kekerasan dan perdagangan manusia berbasis gender. Program ini juga mengintegrasikan beberapa tata kelola migrasi ke dalam rancangan RPJMN 2025-2029 yang akan diadopsi pada akhir tahun ini.
2) Peningkatan kapasitas pemerintah di tingkat daerah. Melalui pelatihan khusus di tingkat daerah, proyek ini telah menyediakan perangkat penting bagi pemerintah daerah, termasuk tiga provinsi, dan lima kota/kabupaten untuk mengintegrasikan migrasi ke dalam perencanaan dan penganggaran serta meningkatkan kapasitas lebih dari 3.000 pemangku kepentingan untuk mencegah dan merespons kekerasan dan perdagangan manusia. Hal ini untuk memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan pemerintah dapat secara efektif mengelola dan memanfaatkan migrasi untuk pembangunan.
3) Mempromosikan pembiayaan berkelanjutan yang inovatif. Proyek ini telah mengembangkan dan menguji tiga inisiatif pembiayaan inovatif dan pemberdayaan ekonomi responsif gender untuk mendukung pekerja migran memberdayakan kapasitas ekonomi mereka.
Migrasi seringkali menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat Indonesia yang mempunyai kesempatan terbatas atau tidak punya kesempatan sama sekali.
Pada tahun 2023, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di luar negeri meningkat sebesar 36,95% dibandingkan tahun sebelumnya, sebagian besar adalah perempuan yang bekerja di sektor informal. Namun, peluang-peluang ini memiliki risiko yang besar, termasuk penempatan yang tidak teratur, kekerasan berbasis gender, perdagangan manusia, penipuan, dan kondisi kerja yang eksploitatif.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Indonesia telah mengadopsi GCM, yang bertujuan untuk memaksimalkan manfaat migrasi sekaligus memastikan perlindungan menyeluruh terhadap pekerja migran Indonesia. GCM menekankan tata kelola migrasi yang efektif dan sejalan dengan target SDG 10.7, yang berfokus pada migrasi yang tertib, aman, teratur dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, proyek ini berperan penting dalam membentuk masa depan tata kelola migrasi di Indonesia.
Selain pembentukan mekanisme pembiayaan berkelanjutan, nantinya proyek ini secara resmi akan meluncurkan dua inovasi yaitu:
(1) Fitur Chat Bot, yang merupakan fitur tambahan untuk melengkapi mekanisme yang telah ada yaitu aplikasi Safe Travel yang memungkinkan akses cepat bagi perempuan pekerja migran korban kekerasan untuk mencari bantuan.
(2) Aplikasi Juang Mobile, yaitu aplikasi pengelolaan keuangan untuk membantu para migran mengelola pengeluaran mereka secara efektif yang diperkirakan akan bermanfaat bagi lebih dari 3 juta pekerja migran Indonesia.