Jakarta, pelita.co.id – Di Auditorium Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Senin (29/09/2025) rangkaian kegiatan Klik: Rakyat resmi dibuka. Acara yang menghadirkan mahasiswa, dosen, akademisi, dan aktivis ini menjadi ruang refleksi kebangsaan dengan tema besar “Ruang Bersama, Berdaulat, dan Setara.”
Romo Simon Lili Tjahjadi Pr, Ketua STF Driyarkara, membuka acara dengan mengingatkan semboyan Latin yang terpampang di depan perpustakaan STF: “Veritas liberabit vos” – kebenaran akan memerdekakan kamu.
“Selama ada manipulasi kebenaran, selama ada yang menutup-nutupi kebenaran, selama kebenaran dikaitkan dengan kepentingan, kita jadi bertanya apakah itu sungguh-sungguh kebenaran. Padahal kebenaran yang sejati itu akan membebaskan,” tegasnya.
Diskursus perdana menghadirkan Romo Franz Magnis-Suseno, SJ, dengan tema “Sejarah 1965-1966 dan Politik Kiri di Indonesia.” Menurut Romo Simon, tragedi 1965 adalah bagian kelam yang krusial untuk dipahami, agar generasi baru tak terputus dari sejarah bangsa. Kata Simon, ini merupakan bagian kelam dari bangsa kita, tapi sekaligus juga bagian yang sangat krusial untuk situasi, baik pada waktu itu maupun pada fase-fase berikutnya. Ada banyak korban, ada banyak orang tak bersalah yang kemudian menjadi korban.
Romo Magnis adalah saksi hidup, tegas Simon, sekaligus seorang filosof dan putra Bangsa Indonesia yang mendapat penghargaan dalam dedikasinya bagi Indonesia. “Sehingga beliau merasa penting untuk merefleksikan ini bagi kita bersama, khususnya bagi generasi muda yang hidupnya sudah jauh dari masa itu,”ujar Simon.
Beberapa dari kita, kata Simon, mungkin masih mengalami, tetapi cukup banyak yang sekarang hadir tidak mengalami tragedi 1965. Maka demi kebenaran yang akan memperdekakan, diskursus ini dibuat. “Ini adalah sebuah kajian ilmiah, refleksi filosofis, refleksi politik yang akan kita gali Bersama pada siang hari ini,”ujar Simon.
Tak Pernah Diakui Negara
Terkait dengan tragedi 1965 yang menjadi materi Utama kuliah umum hari itu, Ketua Ikatan Keluarga Alumni Driyarkara (IKAD) Ruth Indiah Rahayu, menyampaikan bahwa tragedi 1965 merupakan wajah banalitas kejahatan di Indonesia yang hingga kini tak pernah diakui negara. “Enam puluh tahun sudah berlalu, belum pernah ada pengakuan dan pertanggungjawaban. Bahkan, penyelesaiannya dipintas menjadi program pemulihan korban melalui dana sosial tanpa menyentuh jantung keadilan,” kata Ruth.
Menurutnya, demokrasi tanpa keadilan transisi hanyalah demokrasi yang banal. “Pola Tragedi 1965 telah mengalami transformasi metode yang lebih canggih dalam bentuk perampasan tanah, korupsi kekayaan negara, kerja rodi lewat pajak, hingga kriminalisasi aktivis dan penyitaan buku bacaan progresif,” ujar Ruth.
IKAD, lanjutnya, menyerukan agar aktivis kritis dibebaskan dan bahan bacaan kritis tidak lagi disita. Ruth menutup sambutannya dengan kutipan Sutardji Calzoum Bahri: “Yang tertusuk padamu akan berdarah padaku.” Sebuah pengingat bahwa luka 1965 masih mewariskan darah dan penderitaan bagi bangsa hingga hari ini.
Arena Demokrasi Baru
Anna Hadi Purnamasari dari Suara Ibu Indonesia menyampaikan bahwa Klik Rakyat adalah arena demokrasi baru. “Mandat itu harus kita cabut. Arena yang kami tawarkan dinamakan Klik Rakyat,” ujarnya. Arena itu, kata Anna, harus diisi dengan kuliah terbuka, debat, diskusi, puisi, nyanyian, dan perlawanan rakyat.
Ia mengingatkan kembali peristiwa Maret 2025, ketika DPR mengesahkan revisi UU TNI meski ditolak publik luas. Aksi-aksi mahasiswa dan masyarakat sipil ditanggapi dengan gas air mata dan kekerasan aparat. “Kami tidak akan melarang anak-anak kami memperjuangkan masa depan mereka. Kami akan turun berjuang bersama mereka,” tegasnya.
Dengan tegas Anna menyatakan, mandat rakyat kepada parlemen dan pemerintah sesungguhnya sudah dicabut. Hanya saja penguasa merasa seolah sedang mengelola negeri ini, sehingga dengan senangnya menghamburkan uang negara. “Hari ini harus kita akui, kita sedang mengalami kengerian di jalanan. Pernyataan pendapat dihadapi dengan kekerasan. Hingga kemarin, penangkapan terhadap aktivis terus dilakukan. Mereka dicap kriminal, buku-buku dirampas. Dan satu lagi, anak-anak pelajar sekolah dasar hingga sekolah menengah, setiap hari cemas. Mereka dipaksa menelan makanan yang sewaktu-waktu dapat membahayakan tubuhnya. Judulnya, makanan bergizi gratis. Sesungguhnya, makanan yang berbahaya bagi generasi.”ujar Anna.
Jalanan belum aman, lanjut Anna, tapi kita harus terus bersuara. Kuat dan jernih. Kita harus menemukan cara bagaimana negeri kita terbebas dari politisi rakus. Kita harus menyusun rencana tentang Indonesia yang adil, menghormati hak asasi manusia, sehat, cerdas, bebas dari ketimpangan ekonomi dan sosial. Bebas dari rasa takut dan bersih dari manusia korup. “Saudari-saudara, inilah makna klik rakyat. Satu sama lain dari kita, rakyat, harus saling ngeklik,”tegas Anna.
Seruan Kesadaran
Di akhir acara, dipimpin Romo Simon, seluruh hadirin dengan mengenakan topeng beragam muka para filsuf dan beberapa sambil membawa poster, menyatakan seruan kesadaran. Dalam seruan tersebut, disebut beberapa tuntutan pembebasan atas para aktivis, kecaman atas aksi kekerasan an penyitaan buku yang dilakukan oleh apparat kepolisian, dan upaya pembungkaman pernyataan pendapat/aktivis.
Klik Rakyat akan berlanjut setiap Senin hingga 27 Oktober 2025, di STF Driyarkara, Perpustakaan Nasional RI, dan Teater Kecil Taman Ismail Marzuki. Kegiatan ini diharapkan menjadi ruang percakapan yang mempertemukan gagasan, harapan, dan refleksi rakyat menuju Indonesia yang lebih adil, sehat, dan berdaulat.