Nasir Djamil: Implementasi UU Pemerintahan Aceh Belum Sesuai Harapan

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Nasir Djamil. Foto : Dok/Andri.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Nasir Djamil. Foto : Dok/Andri.

Jakarta, pelita.co.idAnggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Nasir Djamil menilai implementasi Undang-Undang Pemerintahan Aceh belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ia menyebut sejumlah faktor historis dan struktural yang membuat pelaksanaan otonomi khusus Aceh tidak sepenuhnya mencerminkan amanat konstitusi. Menurutnya, evaluasi menyeluruh menjadi penting agar penghormatan negara terhadap kekhususan Aceh benar-benar terwujud.

Nasir menyoroti pasal 18B UUD 1945 yang menegaskan bahwa negara mengakui pemerintahan di daerah yang bersifat khusus dan istimewa. Menurutnya, mengakui berarti membenarkan dan menerima.

Bacaan Lainnya

“Secara leksikal begitu. Nah, pertanyaannya adalah apakah selama ini kita membenarkannya setengah hati atau menerimanya setengah hati (adanya pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa)? Itu yang harus menjadi pemikiran kita,” ujar Nasir dalam Rapat Kerja (Raker) penyusunan RUU tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh bersama Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Keuangan di Gedung Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta pada Rabu, (19/11/2025).

Nasir mengingatkan bahwa UU Pemerintahan Aceh lahir dari proses panjang yang bahkan menelan korban jiwa. Ia menceritakan pengalamannya saat masih menjadi anggota DPRD Aceh pada masa penyusunan UU Nomor 18 Tahun 2001, ketika ketua panitia khusus (pansus) kala itu, Zaini Sulaiman, ditembak orang tak dikenal di rumahnya setelah turut mengawal pembentukan regulasi tersebut. Menurut Nasir, dinamika itu menunjukkan bahwa dasar hukum otonomi Aceh dibangun melalui perjuangan berat yang tidak boleh disia-siakan.

“Penyusunan UU waktu itu memang harus dibayar mahal karena ketua pansusnya dtembak oleh orang tak dikenal pada maghrib menjelang malam,” tuturnya.

Nasir juga menyoroti bahwa banyak pejabat pemerintah yang dahulu terlibat langsung dalam penyusunan UU Nomor 11 Tahun 2006 kini telah pensiun. Hilangnya kesinambungan pengetahuan itu, menurutnya, membuat beberapa ketentuan dalam UU Aceh tidak lagi dipahami secara utuh oleh pejabat pusat yang menjabat saat ini.

Lebih jauh, Nasir turut mengaitkan perjalanan otonomi Aceh dengan hasil perundingan damai Helsinki yang menjadi titik balik perdamaian Aceh. Menurut Nasir, saat itu terjadi kekacauan yang kompleks, rasa mencekam, kekhawatiran, dan pengungsian di mana-mana, bahkan rumah-rumah ibadah tidak berani didatangi.

“Situasinya (seperti itu), tapi kemudian setelah (perundingan) Helsinki, semuanya mengalami perubahan. Terjadi demobilisasi dan demokratisasi,” ungkapnya.

Dalam forum itu, Nasir turut mendorong pemerintah mempertimbangkan pembentukan badan khusus yang menangani daerah berstatus otonomi khusus. Menurutnya, selama ini urusan Aceh hanya berada pada level direktorat di Kemendagri, yang dinilai memiliki daya dukung kelembagaan terbatas. Ia mengingatkan bahwa pada masa lalu, Menkopolhukam pernah memiliki Desk Aceh, tetapi kini peran itu tidak lagi terdengar.

Ia menegaskan bahwa UU Aceh bukan sekadar regulasi pada level daerah, melainkan Undang-Undang Republik Indonesia yang wajib dijalankan bersama. Nasir juga optimis bahwa Presiden Prabowo Subianto memiliki perhatian besar terhadap Aceh dan berharap momentum revisi UU Pemerintahan Aceh dapat menghasilkan tata kelola otonomi khusus yang lebih kuat dan efektif bagi masyarakat Aceh.

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan