OPINI: NIKI dan Phil Collins, Sudahlah Cukup Nikmati Saja

Illustrasi
Illustrasi

Oleh Tommy Hutomo. Penulis adalah penikmat musik di Jakarta.

NIKI dan Phil Collins jadi dua nama yang ramai diperbincangkan. Awalnya, saat ada yang menyebut Phil Collins ‘panjat sosial’ terhadap NIKI. Tentu, penikmat band Genesis dan Phil Collins jadi gerah.

Bacaan Lainnya

Dalam lanskap musik pop akhir abad ke-20, Phil Collins adalah sosok yang tak bisa diabaikan. Musisi asal Inggris ini tidak hanya dikenal sebagai drummer dan vokalis Genesis, tetapi juga sebagai solois yang menghasilkan sejumlah lagu emosional, melankolis, dan sangat personal. Salah satu karya terkenalnya yang tetap abadi hingga hari ini adalah “You’ll Be in My Heart” — lagu balada yang menjadi soundtrack film Tarzan (1999) produksi Disney.

“You’ll Be in My Heart” bisa dibaca sebagai puncak dari keterampilan Collins dalam menyampaikan keintiman emosional lewat musik pop. Lagu ini secara struktural sederhana—verse dan chorus yang mengalun dengan progresi nada klasik, tanpa eksplorasi produksi yang rumit. Namun justru di situlah kekuatannya: kesederhanaan yang membungkus kedalaman rasa.

Collins menulis lagu ini untuk putrinya, Lily, dan fakta ini menambah lapisan kejujuran emosional pada liriknya. Kalimat seperti “You’ll be in my heart / No matter what they say” bukan sekadar narasi film animasi, tetapi refleksi dari kasih tanpa syarat yang hanya bisa dirasakan, bukan diajarkan. Lagu ini lantas melampaui fungsi ilustratif dalam film dan menjelma sebagai anthem universal tentang cinta, pengasuhan, dan ikatan yang tak tergoyahkan.

Secara musikal, lagu ini menandai keberhasilan Disney dalam beralih dari era musikal Broadway ke era “pop-soundtrack.” Jika Elton John membuka jalan dengan The Lion King, maka Phil Collins memperluas formula itu: bukan hanya menyanyikan lagu tematik, tetapi juga menulis, mengaransemen, dan menanamkan suara khasnya ke dalam keseluruhan atmosfer musikal film.

“You’ll Be in My Heart” juga menjadi bukti bahwa pop ballad bisa hidup dalam ranah komersial sekaligus artistik. Lagu ini meraih Academy Award dan Golden Globe, namun lebih dari itu, ia meraih tempat di hati publik lintas usia. Ia sering dinyanyikan di pesta pernikahan, acara keluarga, bahkan di momen-momen perpisahan—menegaskan kekuatannya sebagai lagu yang menyentuh sisi terdalam kemanusiaan.

Phil Collins barangkali tidak lagi seaktif dulu karena kondisi kesehatan, tetapi warisannya dalam musik tetap hidup. “You’ll Be in My Heart” adalah salah satu puncak kontribusinya—sebuah lagu yang membuktikan bahwa musik, ketika ditulis dari hati dan untuk hati, akan selalu menemukan pendengarnya. Dalam dunia musik yang kian keras dan serba cepat, lagu ini adalah pengingat lembut bahwa kelembutan pun punya kekuatan yang tak terkira.

Sekarang mari melihat Nicole Zefanya, atau yang lebih dikenal dengan nama panggung NIKI, yang saat ini menjadi sorotan. Kali ini bukan karena lagu orisinalnya atau penampilannya di panggung internasional, melainkan karena polemik yang menyertai versinya atas lagu ikonik Disney, “You’ll Be in My Heart” karya Phil Collins.

Cover yang awalnya ditujukan sebagai bentuk penghormatan dan bagian dari proyek Disney untuk memperkenalkan lagu-lagu klasik kepada generasi baru, justru memicu perdebatan di ruang publik—terutama di antara penggemar fanatik Collins dan kalangan konservatif musik pop klasik.

Secara musikal, versi NIKI tidak bisa dianggap sembarangan. Ia menyajikan lagu ini dengan pendekatan minimalis—petikan gitar, suara yang lembut, dan intonasi emosional khas NIKI. Namun justru di sanalah letak perpecahannya: sebagian pihak menilai versinya terlalu “dingin”, kehilangan semangat heroik dan kehangatan paternal yang menjadi ciri khas versi asli.

Ada pula yang menganggap NIKI “mereduksi” pesan utama lagu tersebut dengan menjadikannya terlalu pribadi dan melankolis, bukan universal dan penuh harapan seperti yang dimaksudkan Disney pada awalnya.

Polemik ini sebagai bagian wajar dari dinamika reinterpretasi karya klasik. Musik adalah medium yang hidup. Ketika NIKI membawakan “You’ll Be in My Heart” dengan gaya dan suara generasinya, ia sedang memperluas cakupan emosional lagu itu—dari sekadar relasi orangtua-anak menjadi bentuk kasih sayang yang lebih luas: kepada pasangan, sahabat, atau bahkan kepada diri sendiri.

Justru di era sekarang, di mana identitas dan ekspresi sangat cair, tafsir personal semacam ini terasa lebih relevan.

Masalahnya bukan pada kualitas musikal, tapi pada benturan antara nostalgia dan evolusi. Mereka yang tumbuh bersama versi Phil Collins melihat lagu ini sebagai bagian dari ingatan emosional yang nyaris sakral.

Ketika lagu itu dibawakan ulang dengan nuansa yang sangat berbeda, terjadi semacam “pengkhianatan simbolik.” Tapi ini bukan salah NIKI. Ia tidak sedang menghapus sejarah—ia sedang membacanya kembali, dengan bahasa zamannya.

Yang lebih patut disorot justru adalah bagaimana publik, terutama di ranah digital, cepat bereaksi keras terhadap ekspresi artistik. Di satu sisi, ini menunjukkan betapa kuatnya posisi lagu tersebut di benak publik. Tapi di sisi lain, ini juga menunjukkan sempitnya ruang toleransi terhadap eksperimen musik yang sah-sah saja.

NIKI, terlepas dari polemik ini, tetap menunjukkan keberaniannya sebagai seniman. Ia tahu bahwa menyentuh karya legendaris seperti “You’ll Be in My Heart” akan menuai risiko. Tapi ia melakukannya—dengan jujur dan tetap dalam koridor musikalitas yang ia yakini.

Pada akhirnya, polemik ini justru menunjukkan satu hal: bahwa lagu ini masih hidup. Dan jika karya musik masih bisa memicu diskusi, pro-kontra, bahkan kontroversi, itu berarti ia belum kehilangan maknanya. Versi NIKI mungkin bukan untuk semua orang, tapi ia membuka ruang tafsir baru, dan dalam dunia seni, itu adalah sesuatu yang patut dihargai, bukan ditolak mentah-mentah.

Jadi, cukup sudahi polemik ini. Cukup nikmati saja lagu dan musiknya.

***

Redaksi  pelita.co.id menerima opini dengan berbagai tema dan topik. Kirim opini Anda melalui email ke  redaksi@pelita.co.id dengan subyek email: Opini_Judul Opini.

Baca Juga Opini Lainnya:

Uang Kuliah Mahal, PTN-BH Bukan Akar Masalah oleh Fatimah
Dosen Politeknik Negeri Tanah Laut Kemendikbudrist
ek

Nusantara Baru, Indonesia Maju oleh Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A. Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024

Kewajiban Tolong Menolong oleh Tomy Michael
Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Perjuangan Pekerja Industri Kreatif Mendapatkan Pengakuan Negara oleh Ikhsan Raharjo
Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)

Memperkuat Aspek Ketatanegaraan dan Urgensi Utusan Golongan di MPR oleh Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI

Idealisasi Fungsi Kontrol Pers oleh Husen Mony, Pengajar Jurnalistik di Fakultas  Ilmu  Komunikasi, Universitas Sahid  Jakarta

Nasionalisme, Kewarganegaraan, dan Pancasila oleh As’ad Said Alipenulis buku Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan