OPINI: Perjuangan Pekerja Industri Kreatif Mendapatkan Pengakuan Negara

Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Ikhsan Raharjo saat peluncuran riset berjudul “Upah Layak Untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas Industri Media Dan Kreatif’ , pada Sabtu, (24/3/2024). Foto: pelita.co.id/Mulyono Sri Hutomo
Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Ikhsan Raharjo saat peluncuran riset berjudul “Upah Layak Untuk Semua: Model Pengupahan Pekerja Lepas Industri Media Dan Kreatif’ , pada Sabtu, (24/3/2024). Foto: pelita.co.id/Mulyono Sri Hutomo

Ikhsan Raharjo
Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)

*Tulisan ini dipublikasi ulang dari Buku Antologi Aktivis Muda yang diterbitkan Kementerian Pemuda dan Olahraga.

Bacaan Lainnya

“30 hours of working and still going strooong.” Begitu isi cuitan dari sebuah akun Twitter @mitdoc tertanggal 14 Desember 2013. Lebih-kurang, ia bercerita tentang dirinya yang tengah menghabiskan tiga puluh jam kerja tanpa jeda. Cuitan ini milik Mita Diran, perempuan berusia 27 tahun peraih setidaknya tiga penghargaan prestisius Citra Pariwara hasil kerja kreatifnya sebagai copywriter pada agensi periklanan Young & Rubicam di Jakarta. Rupanya itu adalah pesan terakhir Mita. Dua hari setelah cuitan itu diunggah, Mita jatuh pingsan lalu dilarikan ke rumah sakit dan tak lama berselang ia dinyatakan meninggal dunia.

Kondisi kerja kemudian menjadi tersangka utama atas kasus ini. Apalagi, bukan kali ini saja Mita mengakui dirinya tengah menjalani jam kerja yang sangat panjang. Satu bulan sebelumnya, lewat akun yang sama, Mita menceritakan dirinya selalu tiba di rumah pukul 2 pagi setelah pulang dari tempat kerjanya dalam sepekan terakhir.

Kejadian serupa bisa dilacak lebih jauh. Dua tahun sebelumnya, pada akun media sosial yang lain, Mita mengungkapkan dirinya “tidak punya kehidupan” karena delapan hari berturut-turut harus berangkat ke kantor tanpa libur.

Hari ini, lebih dari sepuluh tahun berselang, cuitan terakhir Mita Diran akan tetap dikenang sebagai pengingat atas bahayanya overwork bagi pekerja. Beristirahatlah dengan tenang, Mita.

Pengabaian Negara

Overwork dan kematian pekerja merupakan masalah global yang telah menjadi perhatian dunia internasional. Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Perburuhan Internasional (ILO) memperkirakan sebanyak 745 ribu kasus kematian akibat stroke dan serangan jantung iskemik terjadi di seluruh dunia pada 2016 sebagai dampak dari jam kerja panjang.

Angka ini naik 29 persen apabila dibanding catatan pada 2000. Ratusan ribu kasus ini dialami oleh mereka yang bekerja lebih dari 55 jam setiap pekannya. Kejadian paling banyak dialami oleh laki-laki, penduduk wilayah Pasifik Barat dan Asia Tenggara. Sebagian besar kematian terjadi pada orang berusia 60-79 tahun yang bekerja lebih dari 55 jam setiap pekannya ketika berusia antara 45 dan 74 tahun.

Saking tingginya kasus seperti ini, Jepang bahkan memiliki istilah khusus karoshi untuk merujuk pada peristiwa kematian pekerja akibat overwork. Di Jepang, penelitian mengenai karoshi telah dimulai pada 1990-an oleh Keio University terhadap kasus kematian di kalangan pebisnis berusia paruh baya akibat overwork yang membuat tubuh mereka gagal berfungsi atau mendorong mereka mengakhiri hidupnya.

Menariknya, Presiden Shinzo Abe melihat hal ini sebagai masalah besar bagi negaranya lalu membuat aturan untuk mencegah terjadi karoshi pada 2018. Dalam aturan ini, negara dapat memaksa pemberi kerja memberikan cuti bagi pekerjanya untuk menghindari overwork. Meski efektivitas aturan ini masih dipertanyakan, namun kita bisa melihat adanya perhatian serius dari Pemerintah Jepang terhadap kondisi para pekerjanya.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah Pemerintah Indonesia memiliki perhatian yang sama terhadap overwork? Jawabannya sangat jelas: sama sekali tidak ada perhatian.

Meskipun telah lama diketahui, pemerintah sama sekali tidak pernah menganggap overwork sebuah masalah lalu mengambil langkah untuk memperbaikinya. Kondisi ini dapat dengan mudah ditemui pada pekerja sektor ekonomi kreatif.

Sejak 2016, negara, lewat Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengetahui bahwa 31,98 persen pekerja ekonomi kreatif bekerja di atas 48 jam setiap pekannya alias satu dari tiga pekerja menderita overwork. Kondisi ini tentu bisa disebabkan oleh banyak faktor yang salah satunya adalah rendahnya upah pekerja di sektor ekonomi kreatif sehingga membuat mereka harus memperpanjang jam kerja untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup. Kondisi ini konsisten muncul dalam survei pada tahun-tahun berikutnya namun hanya menjadi sebuah data statistik belaka karena tak kunjung dianggap sebuah masalah bagi pemerintah.

Apabila temuan resmi itu tak cukup membuka mata pemerintah maka silakan perhatikan temuan Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Pada 2022, SINDIKASI menyimpulkan bahwa pekerja film panjang dan iklan Indonesia berada dalam kondisi berbahaya lantaran mayoritas mereka bekerja selama 16-20 jam per hari syuting. Angka ini hampir dua kali lipat lebih tinggi dari alarm risiko kematian akibat jam kerja panjang yang dibunyikan WHO dan ILO dalam risetnya.

Para pekerja film biasanya sudah berkumpul di lokasi syuting sejak pukul 5 dan menjalani jam kerja “normal” mereka hingga pukul 24. Kondisi ini sudah terjadi setidaknya sejak dua puluh tahun terakhir dan sekali lagi tanpa ada intervensi dari negara.

Masalah overwork hanya catatan kecil dari daftar panjang kondisi kerja buruk pada industri kreatif yang tak mendapat perhatian negara. Para pekerja terutama mereka yang berstatus sebagai pekerja lepas atau freelancer merupakan kelompok pekerja paling diabaikan negara.

Riset SINDIKASI menyimpulkan pekerja industri kreatif Indonesia mengalami flexploitation atau sebuah eksploitasi dan kerentanan yang secara khas dialami oleh para pekerja yang berkutat dalam hubungan kerja non standar seperti freelancer, mitra, dan konsultan. Flexploitation itu ditandai dengan posisi tawar pekerja yang rendah sehingga membuat mereka tidak memiliki perjanjian kerja tertulis, upah yang tidak layak, bekerja tanpa jaminan sosial, overwork, dan ketidakjelasan masa depan.

Kelayakan upah menjadi masalah lain bagi sekitar 7,72 juta pekerja sektor ekonomi kreatif dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Apalagi data BPS menunjukan bahwa rata-rata upah pekerja sektor ekonomi kreatif selama periode 2018-2021 ternyata di bawah rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Subsektor arsitektur; aplikasi dan game developer; periklanan; film, animasi, dan video; televisi dan radio; desain; dan penerbitan menjadi subsektor ekonomi kreatif dengan rata-rata upah pekerja di atas UMP. Sementara tiga subsektor yang menyerap lebih dari 90 persen pekerja ekonomi kreatif yaitu subsektor kuliner, fesyen, dan kriya justru memiliki rata-rata upah di bawah UMP.

Tabel Rata-rata Upah Buruh Sektor Ekonomi Kreatif 

Menurut Subsektor (Rupiah), 2018-2021

Sumber: Statistik Upah Tenaga Kerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 2018-2021 (Badan Pusat Statistik, 2022) 

Masalah ini semakin kompleks dengan seringnya para pekerja menjadi korban pencurian upah atau wage theft dari pemberi kerjanya. Berdasarkan observasi kondisi kerja freelancer di Bandung, Jakarta, dan Surabaya, SINDIKASI menemukan pola wage theft yang dilakukan pemberi kerja kepada freelancer yaitu tidak membayarkan upah sesuai perjanjian awal. Menurut Aini dkk (2019), bentuk wage theft yang sering muncul yaitu keterlambatan pembayaran upah, nominal upah yang dibayarkan kurang, dan tidak dilakukan pembayaran upah sama sekali.

Pada banyak kasus, freelancer hanya bisa pasrah menerima perlakuan buruk dari pemberi kerjanya. Kondisi ini menggambarkan kerentanan freelancer ketika menghadapi pemberi kerja yang tentu akan mempengaruhi penghidupannya. Liem dkk (2021) menemukan 74,7 persen dari responden risetnya mengaku bahwa penghasilan mereka hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan harian, 63,2 persen responden memiliki uang hanya untuk hidup selama dua pekan, 46, 8 persen responden tidak memiliki dana darurat, dan 44,7 persen memiliki utang atau pinjaman yang belum lunas.

Menariknya, Liem dkk (2021) menyimpulkan adanya kontradiksi antara tingkat kepuasan responden terhadap pekerjaan mereka dan persepsi terhadap isu kesejahteraannya. Sebanyak 82,6 persen responden mengaku “suka dengan pekerjaan saat ini” dan 80 persen responden mengaku “menemukan kesenangan dalam pekerjaan”. Namun di saat bersamaan, mayoritas responden menunjukkan kekhawatiran besar terhadap penghasilan mereka yang tidak pasti atau stabil dan khawatir atas kelayakan gaji atau upah mereka.

Kondisi ini dapat dikaitkan dengan melemahnya daya tawar pekerja dan kondisi kerja buruk karena tidak tersedianya pekerjaan layak. Akibatnya, sebagaimana diungkap Dore (2003 dalam Liem dkk, 2021), pekerjaan apapun yang berupah rendah dan tidak memiliki jaminan sosial sekalipun seolah-olah lebih baik daripada menganggur sama sekali. Dengan kata lain, mereka melakukannya karena ini merupakan pilihan terbaik di saat tidak tersedia pekerjaan yang layak.

Tak Mau Lagi Dikecualikan

“Era ekonomi kreatif harus menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia,” begitu tulis Presiden Joko Widodo yang terpampang besar di layar elektronik pada sebuah acara peresmian gedung pertunjukan, 9 Agustus 2015. Kalimat itu menjadi seperti mantra yang selalu dirapal para pembesar negeri ketika berbicara ekonomi kreatif. Mereka rupanya tersihir besarnya serapan pekerja dan pendapatan yang dihasilkan ekonomi kreatif tiap tahun. Tak bisa dinafikan, kontribusi ekonomi kreatif terhadap dua aspek ini sangat signifikan.

Namun pertanyaan besarnya: mengapa jutaan pekerja ekonomi kreatif dan masalah keseharian yang menyertai mereka tak pernah menjadi perhatian negara? Faktanya, Undang-undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif tak mengakui keberadaan jutaan pekerja ekonomi kreatif. Dalam undang-undang itu, negara merujuk “pelaku ekonomi kreatif” hanya kepada mereka yang merupakan “pelaku kreasi” dan “pengelola kekayaan intelektual” namun mengecualikan jutaan orang pekerja ekonomi kreatif yang saban tahun muncul dalam data BPS. Konsekuensinya, pelindungan hak dan kesejahteraan pekerja ekonomi kreatif tak diakomodir dalam Strategi Pengembangan Ekosistem Ekonomi Kreatif.

Kondisi ini dapat dibedah menggunakan pemikiran Alain Badiou, seorang filsuf Perancis yang menggunakan metode matematika dalam menjabarkan pokok-pokok pikirannya tentang politik emansipatoris. Dalam konteks ekonomi kreatif, jutaan pekerja ekonomi kreatif merupakan faktor mendasar pentingnya keberadaan “tulang punggung” perekonomian Indonesia itu namun mereka tidak diakui haknya dalam menentukan arah perkembangan kebijakan. Hal ini yang disebut Badiou (dalam Suryawijaya, 2011) sebagai Himpunan Kosong yang berarti semua pihak yang melandasi situasi, menjadi syarat kemungkinan bagi adanya situasi tersebut, namun sekaligus tak dihitung dalam situasi. Singkatnya, pekerja adalah bagian yang dikecualikan dalam kebijakan ekonomi kreatif Indonesia.

Himpunan kosong ini yang kemudian mengorganisir diri untuk melakukan perubahan situasi. Pada 27 Agustus 2017, di sebuah gedung bersejarah milik PT Produksi Perfilman Negara, puluhan pekerja industri kreatif yang menemukan kesamaan nasib dengan pekerja media mendeklarasikan berdirinya Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI).

Lewat kendaraan serikat pekerja, mereka berikrar akan berupaya sekuat tenaga mendobrak situasi buruk yang dialami pekerja industri kreatif Indonesia. Mereka sadar bahwa situasi yang dihadapi jutaan pekerja industri kreatif Indonesia adalah masalah struktural dan sistemik sehingga tak bisa dihadapi secara individual melainkan lewat kekuatan kolektif.

Kemenangan kecil mereka raih dari hasil perjuangan kolektif itu. Setelah melakukan advokasi kebijakan yang telaten selama setahun penuh, mereka dapat tersenyum sumringah ketika negara akhirnya mengakui kesehatan mental di dunia kerja sebagai bagian dari sistem Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) lewat Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang K3 di Lingkungan Kerja dan disusul Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2019 Tentang 2019. Bagi pekerja industri kreatif, isu kesehatan mental di dunia kerja jadi sangat signifikan lantaran semakin jamak dirasakan di tengah kondisi overwork yang menggila. Oleh karena itu, kemenangan kecil ini jadi penting bagi mereka untuk membuktikan diri bahwa pekerja yang berserikat mampu mengubah kebijakan negara.

Mereka yang berserikat itu tak berpuas diri. Sambil memperluas pengorganisiran secara teritorial dan sektoral, mereka terus mengincar kemenangan-kemenangan lanjutan. Salah satunya adalah pengakuan negara atas keberadaan pekerja ekonomi kreatif.

Mereka menolak menjadi bagian yang dikecualikan lagi dalam ekosistem ekonomi kreatif. Apalagi, negara terus memperluas penerapan sistem pasar kerja fleksibel lewat Undang-undang Cipta Kerja yang kontroversial. Akibatnya, lebih banyak pekerja industri kreatif dan media yang terinformalisasi, semakin rentan dalam kesehariannyam dan terjebak dalam flexploitation. Ujung-ujungnya, posisi tawar mereka dihadapan pengusaha dan negara semakin melemah.

Suksesi kepemimpinan nasional menjadi momentum penting bagi mereka untuk kembali merebut kemenangan. Bersama gerakan rakyat yang lebih luas, mereka telah menyatakan diri akan bersikap kritis terhadap kebijakan negara yang merugikan kelas pekerja Indonesia.

Di saat bersamaan, mereka juga terbuka apabila pemerintah baru berniat mengkoreksi pendekatan pengembangan ekonomi kreatif selama ini yang mengabaikan pekerjanya. Sampai itu terjadi jutaan pekerja muda yang rentan berjanji: kejadian tragis yang menimpa Mita Diran tak boleh berulang. Mita Diran dan jutaan pekerja ekonomi kreatif tak boleh lagi jadi bagian yang dikecualikan.

***

Redaksi  pelita.co.id menerima opini dengan berbagai tema dan topik. Kirim opini Anda melalui email ke redaksi@pelita.co.id dengan subyek email: Opini_Judul Opini.

Baca Juga Opini Lainnya:

Memperkuat Aspek Ketatanegaraan dan Urgensi Utusan Golongan di MPR oleh Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI

Idealisasi Fungsi Kontrol Pers oleh Husen Mony, Pengajar Jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Sahid  Jakarta

Nasionalisme, Kewarganegaraan, dan Pancasila oleh As’ad Said Alipenulis buku Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan