OPINI: Uang Kuliah Mahal, PTN-BH Bukan Akar Masalah

Ilustrasi
Ilustrasi

Oleh: Fatimah
Dosen Politeknik Negeri Tanah Laut Kemendikbudristek

Masih terdengar berita tentang mahalnya uang kuliah tunggal (UKT) pada beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) di Lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), yang menyatakan akar masalah mahalnya UKT adalah PTN-BH. PTN-BH mengambil kebijakan dengan menaikkan UKT dengan persetujuan Mendikbudristek menimbulkan banyak protes dari mahasiswa, sehingga akhirnya kenaikan UKT ditunda untuk tahun ajaran 2024. Kenaikan UKT diluar kewajaran tentu saja sangat meresahkan masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi, dimana pendidikan tinggi dinilai hanya mampu dinikmati oleh masyarakat atas saja.

PTN seyogyanya memiliki tugas utama dalam mengisi kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa telah beralih tugas untuk mendapatkan sumber pendapatan sebesar-besarnya dengan cara menaikkan UKT. PTN tidaklah ulung dalam hal bisnis untuk mendapatkan sumber pendapatan PTN karena tugas utamanya melaksanakan tridharma perguruan tinggi yang terdiri dari pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Hal yang paling mudah untuk mendapatkan pendapatan PTN-BH adalah dengan menaikkan UKT mahasiswa. UKT mahasiswa kemudian dikelola sebagai salah satu yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai baik dosen maupun bukan dosen di lingkungan PTN-BH. Kebijakan meningkatkan UKT oleh pimpinan PTN-BH tentu telah dikaji secara ekonomi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekonomi dan tingkat inflasi.

Untuk mengetahui akar masalah perlu diketahui alasan mengapa PTN memilih menjadi PTN-BH dan mengapa hanya terjadi di lingkungan Kemendikbudristek? Perubahan PTN menjadi PTN-BH ini terus yang dikejar oleh pimpinan PTN Satuan kerja (PTN Satker) agar menjadi PTN-BH, seakan-akan suatu prestasi bagi PTN Satker jika berhasil menjadi PTN-BH. Disamping itu Pemerintah juga terus mendorong PTN Satker untuk menjadi PTN-BH dan PTN badan layanan umum (BLU). Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya PTN Satker di lingkungan Kemendikbudristek yang berubah menjadi PTN-BH dan PTN-BLU. Berdasarkan data dari Rapat Koordinasi Rektor PTN, hingga Oktober 2023, terdapat 21 PTN-BH, 34 PTN- BLU, dan hanya 21 PTN Satker (akademik) yang belum berubah menjadi PTN-BLU maupun PTN-BH.

Alasan utama Pimpinan PTN Satker berubah menjadi PTN-BH maupun PTN-BLU adalah untuk meningkatkan kesejahteraan Pegawai kampus. Hal ini dilakukan karena hanya dengan berubah menjadi PTN-BH maupun menjadi PTN-BLU, maka pegawai kampus terutama dosen berhak mendapatkan kesejahteraan melalui pembayaran remunerasi atas kinerja dosen.

PTN-BH dan PTN-BLU sebagai Solusi Diskriminasi Kebijakan Tunjangan Kinerja Dosen

Kebijakan Pembentukan PTN-BH berlaku sejak diundangkannya UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang kemudian diatur dalam PP Nomor 58 Tahun 2013. Kebijakan pembentukan PTN-BLU maupun PTN-BH dari pemerintah berdampingan dengan kebijakan bahwa Dosen PNS di lingkungan Kemendikbud ketika itu, dimana dosen PNS tidak berhak mendapatkan tunjangan kinerja yang tertuang pada Perpres 88 Tahun 2013. Mengutip dari berita harian Merdeka.com, pada tahun 2013 terjadi protes di kalangan dosen yang dipelopori oleh Abdul Hamid, dosen Fisip Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dengan dibuatkannya petisi meminta agar dosen PNS Kemendikbud berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Waktu itu, kebijakan dosen PNS tidak mendapatkan tunjangan kinerja hanya ditujukan kepada dosen PNS Kemendikbud dan Kementerian Agama (Kemenag). Sedangkan dosen PNS kementerian lainnya berhak mendapatkan tunjangan kinerja seperti dosen PNS Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Menanggapi hal tersebut, pada tahun 2014 terbentuk UU 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), Pasal 80 menyatakan bahwa PNS berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Akan tetapi hal ini tidak merubah kebijakan Pemerintah untuk memberikan tunjangan kinerja kepada dosen PNS, hanya dosen PNS Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang dikecualikan untuk mendapatkan tunjangan kinerja yang tertuang pada Perpres 138 Tahun 2015, Perpres 32 Tahun 2016, dan Perpres 131 Tahun 2018.

Sedangkan dosen PNS kementerian lainnya yang memiliki jumlah besar seperti Kementerian Agama mulai tahun 2015 berhak mendapatkan tunjangan kinerja (Perpres 154 Tahun 2015). Kebijakan untuk merubah PTN menjadi PTN-BLU dan PTN-BH terus didorong oleh Pemerintah dan Pimpinan PTN juga berlomba untuk menuju PTN-BH, tercatat pada tahun 2024 ada 9 PTN persiapan menuju PTN-BH dengan skor diatas 300 berdasarkan data dari Analitik PTNBH Kemendikbudristek.

Labirin Kebijakan Tunjangan Kinerja Dosen

Kebijakan tunjangan kinerja dosen diibaratkan seperti permainan labirin, dimana dosen beberapa kali berubah organisasi kementerian selalu dikecualikan untuk mendapatkan tunjangan kinerja. Sebelum diberlakukannya UU 5 Tahun 2014, dosen berada pada Organisasi Kemendikbud, dimana dosen PNS tidak berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Ketika diberlakukannya UU 5 Tahun 2014, dosen di Kemendikbud berhak mendapatkan tunjangan kinerja (Perpres 151 Tahun 2015), akan tetapi dosen sudah berada pada organisasi Kemendikbudristek (2015-2019), dimana peraturan yang berlaku adalah Perpres 138 Tahun 2015 menyatakan dosen tidak berhak mendapatkan tunjangan kinerja. Desember 2019, dosen berada pada Organisasi Kemendikbud sampai April 2021, selanjutnya sampai sekarang berubah numenklatur kementerian menjadi Kemendikbudristek.

Kebijakan yang digunakan untuk mengatur tunjangan kinerja dosen ASN di Kemendikbudristek adalah Perpres 136 Tahun 2018 yang diturunkan dalam Permendikbud 49 Tahun 2020. Mendikbudristek Nadiem Makarim dengan tegas pada Pasal 44A Permendikbud 49 Tahun 2020 menyatakan bahwa “Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Tunjangan Kinerja bagi pegawai di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang beralih tugas menjadi Pegawai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus berpedoman pada ketentuan Peraturan Menteri ini”. Pasal 44B, “Ketentuan mengenai Tunjangan Kinerja bagi pegawai di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang beralih tugas menjadi Pegawai di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Kinerja Pegawai di Lingkungan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 145), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”. Kedua pasal ini sama pentingnya sebagai pasal kemerdekaan untuk saat ini, dimana berdasarkan kebijakan tersebut, dosen ASN sebagai Pegawai di Kemendikbudristek sebenarnya berhak mendapatkan tunjangan kinerja.

Gaji Dosen PNS PTN di Kemendikbudristek

Gaji dosen PNS terutama bagi PTN Satker yang tidak memiliki hak mengelola keuangan berkisar 3-4 juta yang dirasakan sekitar 6 tahun pertama, karena hanya mendapatkan gaji pokok, tidak ada tambahan penghasilan seperti tunjangan kinerja dan remunerasi. Setelah 6 tahun bekerja, gaji dosen PNS mulai naik menjadi 6-7 juta karena mendapatkan tunjangan profesi kalau dinyatakan lulus. Gaji dosen PNS PTN Satker jauh lebih rendah dibandingkan gaji PNS bukan dosen, bahkan lebih rendah dibandingkan gaji PNS lulusan SMA karena dosen tidak mendapatkan tunjangan kinerja. Diskrimisasi kebijakan pemberian tunjangan kinerja sehingga menimbulkan ketimpangan dalam hal gaji inilah menjadi pemicu kuat bagi PTN Satker untuk berubah menjadi PTN-BH maupun PTN-BLU agar bisa meningkatkan kesejahteraan melalui remunerasi yang hanya didapat ketika menjadi PTN-BLU maupun PTN-BH.

Perbandingan gaji dosen PNS PTN Satker dibandingkan dosen PNS Kementerian Perindustrian, dimana besaran nominal kelas jabatan Kementerian Perindustrian sama dengan Kemendikbudristek. Sebagai contoh untuk dosen dengan jabatan fungsioanal Lektor kelas jabatan 11 golongan III/c dengan masa kerja 8 tahun.

Dosen PNS Kemenperin mendapatkan penghasilan dari gaji pokok, tunjangan fungsioanal, tunjangan profesi dan tunjangan kinerja, sedangkan dosen PNS PTN Satker Kemendikbudristek mendapatkan gaji pokok, tunjangan fungsional, dan tunjangan profesi. Selisih penghasilan dosen PNS Kemenperin dan Kemendikbudristek dihitung dari besaran tunjangan kinerja dimana dihitung dari tunjangan kinerja kelas jabatan dikurangi dengan tunjangan profesi.

Besaran tunjangan kinerja yang berlaku sekarang kelas jabatan 11 adalah Rp. 8.757.600,- dikurangi tunjangan profesi sebesar Rp. 3.426.000,- adalah Rp. 5.331.600,-. Dengan demikian, setiap bulan gaji dosen PNS Kemendikbudristek jauh lebih rendah dibandingkan dosen Kemenperin sebesar Rp. 5.331.600,-. Jika dihitung sudah berlangsung selama puluhan tahun, selisih penghasilan dosen PNS PTN Satker Kemendikbudristek dibandingkan dosen PNS Kemenperin mencapai 500 juta. Begitu juga, ketika dosen PNS di Kemendikbudristek sedang melaksanakan tugas belajar, dosen hanya menerima gaji pokok saja yaitu 3-4 juta/bulan. Ketika sedang tugas belajar, semua tunjangan dihentikan yaitu tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan tunjangan tugas belajar (Permendikbudristek 27 Tahun 2022). Seandainya, dosen berhak tunjangan kinerja, walaupun tugas belajar, masih bisa mendapatkan tunjangan kinerja.

Pengelolaan pendidikan tinggi mendorong PTN Satker menjadi PTN-BLU maupun PTN-BH perlu ditinjau ulang kembali dan diskriminasi pemberian tunjangan kinerja yang mengecualikan hanya dosen ASN PTN di Kemendikbudristek menimbulkan banyak dampak negatif.

Dampak yang ditimbulkan antara lain tingginya uang kuliah yang menyengsarakan rakyat, banyaknya bermunculan Profesor abal-abal tanpa memperhatikan etika akademik, perjokian skripsi/thesis dimana-mana, banyaknya artikel penelitian predator, dan lambatnya persaingan universitas menuju World Class University. Hal ini disebabkan karena dosen terbagi fokus untuk meningkatkan kesejahteraan dengan cara masing-masing karena tidak adanya tunjangan kinerja.

***

Redaksi  pelita.co.id menerima opini dengan berbagai tema dan topik. Kirim opini Anda melalui email ke  redaksi@pelita.co.id dengan subyek email: Opini_Judul Opini.

Baca Juga Opini Lainnya:

Nusantara Baru, Indonesia Maju oleh Dr. K.H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A. Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024

Kewajiban Tolong Menolong oleh Tomy Michael
Dosen FH Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya

Perjuangan Pekerja Industri Kreatif Mendapatkan Pengakuan Negara oleh Ikhsan Raharjo
Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI)

Memperkuat Aspek Ketatanegaraan dan Urgensi Utusan Golongan di MPR oleh Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI

Idealisasi Fungsi Kontrol Pers oleh Husen Mony, Pengajar Jurnalistik di Fakultas Ilmu  Komunikasi, Universitas Sahid  Jakarta

Nasionalisme, Kewarganegaraan, dan Pancasila oleh As’ad Said Alipenulis buku Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan

PELITA.CO.ID di WhatsApp: pelita.co.id di WhatsApp Channel Dapatkan aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play: pelita.co.id di Google Apps PELITA.CO.ID di Google News: pelita.co.id di Google News

Pos terkait

Tinggalkan Balasan