Jakarta, pelita.co.id – Kerja-kerja jurnalis dalam melakukan pelaporan isu iklim dan lingkungan di Indonesia menghadapi potensi ancaman dan serangan serangan fisik dan non fisik. Jurnalis dan media Indonesia yang meliput isu lingkungan juga menghadapi tantangan lain seperti terbatasnya akses terhadap informasi yang acap kali dilakukan oleh negara dan perusahaan yang terlibat dalam praktik perusakan lingkungan. Tantangan lainnya adalah tekanan ekonomi-politik dan peningkatan risiko keamanan.
“Bahkan dalam ruang redaksi juga berpotensi menjadi tempat resistensi yang kadang-kadang mempersulit jurnalis untuk meliput isu-isu lingkungan,” kata wartawan Ahmad Arif dalam diskusi “Peliputan Iklim dan Lingkungan Hidup yang Berpihak, Aman, dan Akurat” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Jumat, (13/12/2024).
Diskusi dan dialog media ini merupakan bagian dari acara Indonesia Climate Week, sebuah festival iklim yang bertemakan “Merayakan Aksi Iklim Lokal Untuk Global” yang diselenggarakan oleh Aliansi Voices for Just Climate Action (VCA) Indonesia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 10-14 Desember 2024.
Ahmad Arif menambahkan pentingnya kolaborasi antara wartawan dengan akademisi dalam melakukan pelaporan isu iklim dan lingkungan.
“Kerja jurnalistik lingkungan tidak selesai dengan pengumpulan data, namun meneruskannya menjadi narasi agar dapat dipahami oleh pembaca yang heterogen,” ujarnya.
Di tingkat global, empat dari 10 jurnalis yang meliput krisis iklim dan isu lingkungan mendapatkan ancaman akibat dari pekerjaan mereka dengan 11 persen diantaranya mengalami kekerasan fisik. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan UNESCO yang bertajuk Press and Planet in Danger dalam kurun waktu 2018-2023 terdapat peningkatan penyerangan media dan jurnalis lingkungan hidup sebesar 42 persen.
Di Indonesia, diambil dari data Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), terdapat penyerangan kepada 15 meda dan jurnalis pada tahun 2023. Serangan tersebut paling banyak dilakukan oleh kelompok massa, Aparat Penegak Hukum (APH), dan perusahaan.
Di tengah risiko intimidasi dan kekerasan, jurnalis dan media Indonesia yang meliput isu lingkungan juga menghadapi tantangan lain seperti terbatasnya akses terhadap informasi yang acap kali dilakukan oleh negara dan perusahaan yang terlibat dalam praktik perusakan lingkungan. Tantangan lainnya adalah tekanan ekonomi-politik dan peningkatan risiko keamanan.
Tantangan terakhir adalah kompleksitas isu iklim dan lingkungan itu sendiri. Tidak dipungkiri, isu iklim dan lingkungan banyak menggunakan istilah-istilah asing yang tidak biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Karenanya, jurnalis yang meliput isu krisis lingkungan perlu memiliki keahlian khusus dan melakukan penelitian yang mendalam agar dapat menyajikan informasi yang akurat dan dapat dicerna serta dimengerti oleh pembaca.
Di sisi lain, informasi dan pengetahuan mengenai isu lingkungan hidup dan iklim juga dipegang oleh komunitas-komunitas di tingkat tapak yang jarang sekali mendapatkan perhatian dari publik.
Kelompok masyarakat paling terdampak juga mendapatkan tantangan, intimidasi, dan kekerasan serupa dengan yang dialami oleh media dan jurnalis. Namun, sering kali dua kelompok ini, komunitas dan media, tidak terhubung meskipun memiliki kegelisahan dan pengalaman yang sama dalam isu iklim dan lingkungan hidup.