Jakarta, pelita.co.id – Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dan SINDIKASI Jabodetabek menilai Joko Widodo-Ma’ruf Amin gagal melindungi dan mensejahterakan pekerja media dan ekonomi kreatif selama dua periode pemerintahan dalam aksi Hari Buruh Internasional SINDIKASI Melawan Oligarki, pada Senin, (1/5/2023).
Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) merupakan organisasi yang diinisiasi para pekerja sebagai wadah kolektif untuk mengatasi sejumlah tantangan ketenagakerjaan. SINDIKASI menaungi pekerja beragam profesi dan lintas perusahaan dalam sektor media dan industri kreatif sejak tercatat sebagai serikat pekerja di Suku Dinas Ketenagakerjaan Jakarta Utara dengan nomor pencatatan: 2279/III/SP/XII/2017.
Sikap negara yang ngotot mengesahkan Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) lewat Perppu telah dan berpotensi besar memperburuk situasi pekerja media dan industri kreatif saat ini dan masa depan. Pasalnya, UU CK menguatkan fleksibilitas kerja, melucuti perlindungan bagi pekerja, serta mempermudah pemutusan hubungan kerja (PHK).
SINDIKASI menilai Jokowi-Ma’ruf gagal dalam tiga isu krusial ketenagakerjaan. Dalam keterangannya, kegagalan mengelola isu ketenagakerjaan diulas dalam point berikut ini.
Pertama, selama nyaris dua periode, tidak ada perbaikan kondisi kerja pekerja kreatif. SINDIKASI melihat pengembangan ekonomi kreatif Indonesia saat ini mengabaikan kondisi jutaan pekerja di dalamnya.
Statistik Ekonomi Kreatif (2020) menunjukkan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Ekonomi Kreatif sebesar 45,6% dari Rp. 525,96 triliun pada 2010 menjadi Rp. 1.153,4 triliun pada 2019. Meski begitu, pertumbuhan PDB itu tidak sejalan kelayakan upah pekerja industri kreatif Indonesia.
Pada 2019, rata-rata upah pekerja ekonomi kreatif tercatat hanya Rp 2.455.429 atau lebih rendah dari rata-rata pekerja seluruh sektor. Sementara, Survei Kerja Layak SINDIKASI (2022) menemukan 83,7% pekerja mengaku khawatir atau sangat khawatir atas ketidakpastian dan kelayakan upah.
BACA JUGA: DPR Imbau Demonstrasi Buruh Agar Berjalan Kondusif Dalam Koridor Demokrasi
Rendahnya upah pekerja kreatif berbanding terbalik dengan lama waktu kerja mereka. Survei SINDIKASI menunjukkan 28,54% pekerja ekonomi kreatif bekerja di atas 48 jam setiap pekan. Sementara dalam kertas posisi Sepakat di 14, SINDIKASI menemukan 54,11% pekerja industri film bekerja 16-20 jam setiap satu hari syuting.
“Pemerintah belum menganggap overwork sebagai masalah besar sehingga tidak ada satu pun kebijakan negara dikeluarkan untuk mengatasi kondisi ini. Padahal, overwork menjadi pertanda rendahnya upah dan masalah kesehatan fisik serta mental yang timbul sebagai konsekuensi,” ungkap Ketua SINDIKASI, Nur Aini.
Kedua, SINDIKASI menilai tidak ada perbaikan kondisi kerja pekerja kreatif terhadap kekerasan ataupun diskriminasi di dunia kerja. Dalam Survei Kerja Layak (2022) SINDIKASI menemukan 15,5% responden perempuan dan 2,8% responden laki-laki mengatakan pernah mengalami kekerasan seksual.
Studi kekerasan seksual di Universitas City, London (2020) hingga September 2021 juga menunjukkan 30% dari 2.000 profesional media, termasuk di Indonesia, mengalami kekerasan seksual verbal maupun fisik. Penelitian ini menyingkap pelaku kekerasan seksual adalah rekan kerja dan narasumber. Kurang dari satu persen melaporkan kejadian ini dan 50% kasus yang dilaporkan tidak ditindaklanjuti.
Pemerintah juga gagal memfasilitasi dunia kerja yang bebas dari diskriminasi. Ini bisa dilihat dari maraknya praktik diskriminasi usia atau ageisme, belum idealnya kehadiran fasilitas penunjang kerja bagi perempuan dan ibu pekerja, hingga praktik magang tidak berbayar yang seolah dibiarkan tanpa adanya sanksi bagi perusahaan. Padahal, penghapusan kekerasan dan diskriminasi adalah prasyarat untuk mewujudkan kesejahteraan di tempat kerja.
BACA JUGA: Bentrok Pekerja di Morowali, Kurniasih Mufidayati Minta Investigasi Dilakukan Transparan
“Pemerintah cenderung mengabaikan persoalan kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja. Padahal, tugas pemerintah sebagai pembuat kebijakan adalah memastikan setiap individu mendapatkan kesempatan dan lingkungan kerja yang layak. Minimnya perhatian terhadap persoalan ini justru mendorong ketimpangan akses mendapatkan pekerjaan layak,” ungkap Nur Aini.
Ketiga, SINDIKASI melihat pemerintah gagal menampilkan keberpihakan kepada pekerja kota melalui pemenuhan hak dasar perumahan dan transportasi publik yang layak. Program Umum SINDIKASI Jabodetabek (2022) menyatakan pekerja yang berkantor di Jakarta harus memilih antara menyewa kos atau kontrakan yang mahal dan dekat dengan tempat kerja atau menjalani aktivitas commuting yang panjang dan melelahkan.
Temuan focus group discussion SINDIKASI Jabodetabek juga menyebut tidak semua tempat tinggal di wilayah dekat kantor menyediakan akses yang memadai seperti jendela ataupun perkakas rumah tangga. Pekerja yang menjalani commuting juga harus menghadapi berbagai kondisi berbahaya.
Pekerja harus melewati jalan yang gelap karena pulang larut malam hingga stres dengan kepadatan volume penumpang transportasi (kereta atau bus). Selain itu, masih ditemukan juga perusahaan yang tidak memasukkan biaya transportasi dalam komponen penggajian.
“Persoalan ketenagakerjaan Jabodetabek mencakup persoalan ruang hidup. Biaya sewa tempat tinggal yang tinggi dan waktu commuting panjang menambah kerentanan pekerja Jabodetabek yang dikenal menerapkan budaya kerja yang cepat dan intensitas tinggi. Akibatnya, banyak pekerja media dan kreatif yang alami stres. Sayangnya, SINDIKASI Jabodetabek tidak melihat niat kuat pemerintah untuk mengatasi persoalan struktural ini,” ungkap Amru Sebayang, Ketua SINDIKASI Jabodetabek.
Oleh sebab itu SINDIKASI dan SINDIKASI Jabodetabek mendesak negara untuk:
Mencabut dengan segera UU Omnibus Law Cipta Kerja yang meningkatkan kerentanan pekerja dan hanya menguntungkan oligarki.
Meratifikasi konvensi ILO 190 dan Rekomendasi 206 Tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja.
Mewajibkan pemberi kerja atau perusahaan mitra memberikan perlindungan termasuk jaminan kesehatan dan keselamatan kerja bagi seluruh hubungan kerja dari freelancer, mitra, outsourch, hingga pekerja kontrak
Memberikan hunian dan transportasi publik yang layak dan terjangkau untuk pekerja.
Menjadikan perbaikan kesejahteraan pekerja sebagai kebijakan politik negara
Baca berita Militer lainnya di tautan ini dan berita terkini dari PELITA.CO.ID di Google News dengan klik tautan ini.
Baca berita lebih cepat, unduh aplikasi PELITA.CO.ID di Google Play di tautan ini.
TERPOPULER: